PERSAHABATAN TANPA BATAS

  • Jun 29, 2024
  • Rastono Sumardi
  • Cerpen, Sastra

Di desa Beringin Jaya kabuapten Banggai, Sulawesi Tengah. Sepasang remaja yang sejak kecil saling bersahabat. Mereka adalah Puji Lestari gadis remaja yang dikenal cerdas di sekolah karena selalu rangking satu di kelasnya. Ia dari keluarga yang berada, pantas saja puji sering dipuji di antara remaja di kampungnya.

Puji memang seperti magnet dalam pergaulan di desa kami atau gadis Bunga Desa. Puji adalah anak yang pandai bergaul sehingga memiliki banyak teman. Cahyo adalah sahabat dekat Puji, dia suka belajar dari teman-temannya yang lebih pintar di sekolah dan suka membantu teman-temannya dalam urusan apa pun.

Cahyo yang berasal dari keluarga kurang mampu, anaknya pendiam dan kadang merasa minder dengan teman-teman di sekolahnya. Namun, Cahyo sebenarnya 

punya kelebihan, dia selalu mendapat pujian dari gurunya kalau urusan pelajaran Matematika.

Sore itu desa kami begitu cerah, Puji Lestari dan Cahyo berkunjung ke rumah Imma Daryanti yang juga teman sekelasnya untuk sekadar melepas sore sambil membuatkan rujak belimbing di rumah Imma.

Ketiganya tampak bergembira saling bercanda penuh hangat sambil menikmati rujak ala kadarnya yang mereka buat sendiri.

“Cahyo, kamu ke depan ingin jadi apa?” tanya Puji.

“Aku sih ingin jadi guru Matematika, tapi tak tahulah apa aku bisa mencapai keinginanku karena orangtuaku tak punya uang buat aku kuliah nanti,” jawab Cahyo.

“Kalau kamu, Puji cita-citamu apa? Kamu sang juara kami di kelas, pasti kamu kelak jadi orang sukses, deh. Jangan lupa ya sama aku kalau jadi orang sukses,

“Aku ingin jadi dokter, biar kalau Cahyo sakit bisa aku obati secara gratis, “jawab Puji sambil tertawa kecil.

Ya, janji. Aku doakan kamu cita-cintamu tercapai menjadi dokter. Kamu pasti bisa karena kamu pintar dan bapakmu pasti mampu membiayai kuliahmu nanti,

“Ngomong-ngomong, sekarang sudah jam lima sore, nih. Sebentar lagi salat Magrib kita harus pergi mengaji, kan sama Ustaz Ridwan,kata Puji sambil mengingatkan.

 “Oh, iya. Kalau begitu mari kita pulang.” Kemudian Puji dan Cahyo pun pamitan sama Imma untuk pulang ke rumah.

Kedua berpisah di pertigaan jalan untuk menuju ke rumah masing-masing. Seperti biasa besok paginya Cahyo singgah ke rumah Puji untuk mengajak bersama-sama berangkat ke sekolah.

 “Assalamualaikum, Cahyo memberi salam di rumah Puji.

“Waalaikumsallam.Sambut Ibu Puji sambil membukakan pintu.

“Nak Cahyo, Puji belum bisa sekolah hari ini, tolong titip surat sakit Puji untuk wali kelasnya, ya,” kata ibu Puji sambil memberikan amplop surat sakit. Dengan wajah sedih Cahyo pun menerima surat itu.

 “Salam buat Puji, Bu! Semoga Puji cepat sembuh.”

“Ya, Nak Cahyo. Terima kasih atas doanya, semoga Nak Cahyo lancar di jalan,

“Terima kasih, Bu!” Cahyo permisi pamit berangkat pada ibunya Puji. Dengan wajah sedih karena sahabatnya sakit, Cahyo pun bergegas menaiki sepeda ontelnya berangkat ke sekolah. Jarak sekolah mereka kurang lebih delapan km dari desa kami dan harus melalui medan berbukit-bukit. Sesekali Cahyo harus mendorong sepedanya karena harus melewati tanjakan yang tinggi.

Jam pulang sekolah pun tiba, Cahyo kembali mengontel sepeda bututnya untuk pulang. Perasaannya ingin segera ketemu Puji. Ia membawa sepedanya lebih cepat dari biasanya karena ingin menengok Puji yang sedang sakit. Ia tiba di rumahnya jam tiga Sore. Lalu, bergegas untuk menengok Puji di rumahnya.

Assalamualaikum,” Cahyo memberi salam.

Waalaikumsallam.Sambut Ibu Puji dengan wajah tampak lesu dan sedih.

“Bagaimana kabar puji, Bu?” tanya Cahyo.

“Puji masih sakit, Nak Cahyo,” jawab Ibu Puji sambil meneteskan air mata.

Perasaan Cahyo pun makin gelisah melihat wajah ibu Puji yang tampak sangat sedih dan perasaanya yang kurang enak mengarah pada keadaan Puji sahabatnya yang sedang sakit.

“Boleh aku menjenguk Puji, Bu?” Tanpa berkata-kata Ibu Puji membawa Cahyo ke kamar puji yang sedang terbaring lemah di tempat tidur.

 Puji, kamu sakit apa?” tanya Cahyo sambil memegang tangan sabahatnya itu.

“Cahyo, aku sakit kaki dan tangan sebelah kananku tak dapat digerakkan.Rintih Puji sambil meneteskan air mata saat menatapku.

Cahyo pun tak tahan meneteskan air mata walau dia juga tak tahu sakit yang dialami Puji. Yang pasti Cahyo tak dapat lagi bersekolah dan bermain bersama dengan Puji yang sedang sakit.

Puji, sabar ya, kamu pasti sembuh dan kita akan bersekolah lagi nanti. Kamu harus kuat.” Cahyo berusaha menguatkan jiwa Puji.

“Terima kasih atas doamu, Cahyo. Kamu sekolah terus ya, sampai cita-citamu tercapai.Sambil memegang erat tangan Cahyo.

Cahyo pun sangat sedih dengan keadaan sahabatnya, keduanya saling mendoakan dan memberi semangat walaupun wajah sedih dan cemas meliputi keduanya.

“Puji, aku pamit, ya. Hari sudah sore, aku harus salat Magrib di  Surau tempat kita bisa mengaji bersama,

“Iya, terima kasih, Cahyo.Keduanya saling melepas tangan mereka yang berpegang erat. Cahyo pun keluar dari rumah Puji dengan perasaan yang tidak menentu.

Setiap berangkat sekolah Cahyo selalu mampir ke rumah Puji. Dengan harapan Puji sudah sembuh dan bisa bersekolah bersama.

Namun, kenyataan berkata lain. Sakit Puji makin parah dan terkena lumpuh sehingga tidak dapat lagi berdiri dan berjalan. Kaki dan tangan kanannya tidak dapat digerakkan. Dengan keadaan Puji yang seperti ini, orang tua Puji sangat terpukul dan memutuskan dibawa ke kampung asalnya di Jawa Tengah untuk berobat.

Orang tua Puji menjual rumah dan harta lainnya dengan tekad untuk membiayai pengobatan agar bisa sembuh kembali. Puji adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Mereka sangat menginginkan ia sembuh dan dapat berhasil meraih cita-citanya karena dikenal anak yang pintar.

 Dengan kepindahan Puji bersama keluarganya kembali ke kampung asalnya di Jawa Tengah, Cahyo sangatlah kehilangan sahabat karibnya itu. Tanpa terasa dua tahun sudah Puji meninggalkan desa Beringin Jaya di Sulawesi Tengah. Cahyo terus bersekolah hari demi hari dengan sepeda ontelnya tanpa bersama sahabatnya lagi. Ia tetap ingat pesan sahabatnya agar dirinya tetap bersekolah dan mengejar cita-cita.

Lulusan SMA pun tiba. Cahyo telah lulus SMA dan mendapat predikat lulusan terbaik. Cahyo dan orangtuanya sangat gembira atas keberhasilanya menamatkan SMA dengan prestasi yang menggembirakan. Ia ingat pada Puji sahabatnya yang kini jauh di pulau Jawa. Lalu, Cahyo pun berkirim surat kepada sahabat menyampaikan niatnya untuk kuliah pada jurusan Matematika di salah satu perguruan tinggi di Gorontalo.

Puji yang kini tinggal di Jawa Tengah, selalu berkorespondensi dengan Cahyo. Keduanya saling memberi dorongan untuk masa depan. Dalam surat yang ditulis Puji kepada Cahyo, Puji menceritakan bahwa dirinya kini sudah bisa berjalan, tapi tak lagi seperti dulu karena kaki dan tangan kanannya tidak seratus persen pulih. Puji mengatakan dalam suratnya bahwa orang tuanya berniat kembali ke Sulawesi Tengah di desa yang dulu bersama-sama.

Cahyo sangat gembira mendengar kabar berita Puji dan keluarganya hendak kembali ke desanya yang dulu di Sulawesi Tengah. Cahyo sangat berharap bisa bersahabat seperti dulu lagi.

Namun, kini mereka sudah mulai dewasa. Usia mereka telah lebih tujuh belas tahun. Cahyo bertekad untuk kuliah meskipun keadaan orangtua yang kurang mampu. Cahyo kuliah sambil bekerja untuk meringankan beban orangtuanya.

Pada saat Cahyo sudah di Gorontalo, Puji mengirimkan surat untuk Cahyo kalau dirinya dan keluarga sudah kembali ke desa yang dulu. Ia pun sangat gembira ingin rasanya segera pulang bertemu sahabat dan ingin melihat keadaan Puji.

Namun, Cahyo harus bersabar karena bisa pulang nanti menjelang libur lebaran Idul Fitri. Saat yang ditunggu pun tiba, Cahyo hendak berlibur ke desanya. Rindu pada kedua orang tua di kampung juga rindu pada Puji sahabatnya yang lama terpisah.

Di kapal Feri Cahyo duduk di anjungan kapal. Pikirannya menerawang ke kampung halaman. Sambil mengamati deburan ombak yang memecah di belakang kapal serta angin laut yang bertiup kencan. Cahyo tak sabar menanti kapal bisa bersandar di dermaga.

Tampak remang-remang mulai terlihat daratan yang artinya beberapa menit lagi kapal akan segera bersandar di pelabuhan. Cahyo membuang rasa kantuknya karena semalam sulit tidur.

Kapal bersandar di dermaga Pagimana dan bergegas mencari mobil jurusan ke kampung. Dua jam berlalu sampailah Cahyo di kampung. Kegembiraan yang luar biasa saat bertemu dengan kedua orang tua, kakak, dan adiknya setelah lama berpisah.

Ibu Cahyo telah menyiapkan makanan kesukaan yaitu; santan daun singkong dan sambal terasi. Cahyo pun lahap menikmati makanan buatan ibunya yang sangat ia rindukan.

Ma, apa benar Puji sudah kembali lagi di kampung kita ini?” tanya Cahyo pada mamanya.

“Iya, benar sudah tiga bulan ini Puji dan orangtuanya kembali ke kampung kita lagi,” jawab mamanya Cahyo.

“Terus, Puji tinggal di mana sekarang, Ma?”

“Oh, Puji tinggal di rumah Budenya, di perempatan jalan itu.

“Cahyo, ingin menemuinya, Ma. Cahyo ingin tahu keadaan Puji sekarang,

“Oh iya, silakan. Puji juga sering menanyakan kamu pas kamu pulang temuilah Puji kasihan dia selalu mengingatmu,

“Iya, Ma. Cahyo, pergi ke rumahnya Puji, Ma.

Cahyo pergi ke rumah Puji dengan sepeda ontelnya semasa SMA dulu, menuju ke rumah Puji.

Assalamu alaikum,” Cahyo memberi salam di rumah Budenya Puji.

Waalaikumsallam.” Puji menjawab salam sambil membukakan pintu.

Suasana haru dan bahagia menyelimuti pertemuan kembali Cahyo dan Puji. Cahyo menyalami Puji dengan penuh semangat, Puji mengangkat tangan kanannya yang dibantu dengan tangan kirinya untuk berusaha menerima jabatan tangan dari Cahyo.

Puji memang sudah bisa berjalan walaupun kaki kanannya masing ditarik-tarik karena kelumpuhan dan tangan kanannya juga tak bisa digerakkan dengan sempurna. Sehingga untuk menyalami Cahyo, Puji menopangnya dengan dengan tangan kirinya.

Walaupun Puji telah lumpuh sebelah, tapi Cahyo bersyukur karena sahabatnya bisa berjalan dan walaupun dengan bertumpu pada kaki kirinya dan dibantu dengan tongkat. Bersyukur lagi karena Cahyo masih bisa dipertemukan dengan sabahatnya ini.

Setiap sore Cahyo datang menemani Puji, sambil menghiburnya dan bercanda seperti dulu. Cahyo berupaya agar Puji bisa menerima kenyataan dan ikhlas menerima takdir dari Yang Mahakuasa.

Di suatu malam, di balai desa ada pertunjukan kesenian tradisional untuk perayaan hari ulang tahun desa. Para pemuda tak ketinggalan untuk hadir dan menyaksikan pertujukan kesenian yang tampak meriah itu.

“Puji, kita nonton yuk,” ajak Cahyo pada Puji.

“Terus aku jalan bagaimana? Kan, kamu tahu sendiri keadaanku,” jawab Puji.

“Aku gandeng kamu, kita jalan pelan-pelan. Kamu bias, kan?” bujuk Cahyo.

“Okelah, asal kamu tak keberatan, ya. Nanti aku bikin susah kamu, Cahyo

 

Penulis : Rastono Sumardi